Sabtu, 14 April 2012

Menghindari Kenaikan BBM

Mentri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah menyiapkan dokumen  baru yang disebut sebagai one single document. Dokumen tersebut berisi dua hal yaitu penghematan energi dan peningkatan penerimaan negara baik pajak dan non pajak. “Apabila BBM tidak mengalami kenaikan, maka kita harus melakukan penghematan. Kita juga melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran lainnya” ujar Hatta dalam keterangan persnya di Kantor Kepresidenan, Jakarta, 4 april 2012. Terkait penghematan energi, dalam waktu dekat akan dikeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) baru yang akan menjadi kebijakan pemerintah.
Penghematan tersebut meliputi penggunaan BBM, listrik, dan air serta seluruh hal yang berkaitan dengan energi. Sedangkan penghematan menggunakan anggaran pada kementrian/lembaga harus dilakukan dengan menunda semua belanja yang tidak diperlukan. “Kita confident bahwa pembangunan bisa di capai, inflasi bisa kita jaga dan efektif sehingga APBN-P (APBN Perubahan) sehat” kata Hatta. Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) kemarin menggelar rapat terbatas membahas UU APBN-P 2012. Rapat dihadiri antara lain oleh Hatta Rajasa, Menkopolhukam Djoko Suyanto, Mensesneg Sudi Silalahi, Mentri Keuangan Agus Martowardojo, Mentri ESDM Jero Wacik, dan Mentri Perindustrian MS Hidayat.
Presiden menegaskan dengan disahkanya UU APBN-P 2012, pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan bahwa APBN-P menjadi sarana mengelola perekonomian setahun kedepan.
Kepala Negara mengatakan, menaikan harga BBM merupakan opsi terakhir jika tidak ada pilihan yang lain.
            Presiden menjelaskan bulan ini pemerintahan akan mulai bekerja secara marathon untuk mulai merumuskan kebijakan baru yang disebut sebagai “Gerakan Penghematan Nasional”. Presiden menghimbau seluruh masyarakat, dunia usaha, seluruh kementrian dan lembaga, baik di pusat maupun daerah melakukan penghematan energy.
            Untuk menghindari terjadinya kenaikan BBM dan menjaga prekonomian nasional tetap sehat, presiden sedang merumuskan 5 kebijakan, ke-5 kebijakan itu adalah pengamanan APBN-P2012 bila tidak ada kenaikan BBM, meningkatkan sumber sumber pemasukan Negara baik pertambangan dan pajak. Selain itu, dirancang pula gerakan penghematan energy secara nasional, menerapkan penggunaan gas domestic, dan meningkatkan investasi
Sementara,Bank Dunia menilai belanja subsidi BBM salah sasaran karena sebagian besar dinikmati kalangan mampu. Menurut perhitungan Bank Dunia, seorang pemilik mobil di Indonesia bisa menikmati subsidi hingga Rp 1,115 juta per bulan.
Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan subsidi yang diterima pemilik sepeda motor. Per bulan, seorang pemilik sepeda motor hanya mendapatkan subsidi Rp 111.000 . Bila dihitung pertahun, sebuah mobil bisa memakan subsidi sebesar Rp 13.382.000 sementara motor hanya Rp 1.338.240.
“Seorang pemilik mobil menghabiskan 50 liter BBM bersubsidi perminggunya dan menerima subsidi Rp 1,115 juta per bulan. Ini 10 kali lebih besar dari pemilik sepeda motor yang tiap minggu hanya menghabiskan 5 liter,” tutur Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Shubham Chaudhuri saat memaparkan kajian Indonesia Economic Quarterly, di Jakarta, Kemarin. Shubham menambahkan, masyarakat msikin atau mereka yang tidak memiliki kendaraan bermotor justru memperoleh manfaat subsidi yang sangat kecil. Padahal, mereka lah yang menjadi target utama dari belanja subsidi ini.
Bank Dunia juga mengkritisi batalnya kenaikan harga BBM. Lembaga ini meyakini jika ada pengalihan belanja subsidi keinfrastruktur ataupun pendidikan maka pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7% atau lebih tinggi pada tahun ini. Namun, karena kenaikan BBM di tunda maka Bank Dunia mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 6,2 % menjadi 6,1 %. Selain penundaan kenaikan BBM, koreksi pertumbuhan didorong melambatnya petumbuhan di negara mitra. Bank Dunia meyakini, ekspor Indonesia masih akan tumbuh di tahun ini. Namun, melambatnya pertumbuhan di sejumlah negara mitra bakal berdampak besar terhadap volume ekspor.
Senada dengan Shubham,pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia ( UI ) hasil Nazara juga mengkritisi subsidi yang tidak tepat sasaran. “ Subsidi itu dimaksudkan untuk menolong orang. Jadi, kelompok mana yang ingin kita tolong, mereka yang punya mobil atau yang miskin? Alangkah lebih baik BBM dikurangi dan di alihkan keinfrastruktur serta perlindungan sosial,” ujarnya.

Jumat, 06 April 2012

Trias Politika


John Locke, Tokoh Trias Politika)

Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang, Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga dan individu yang melanggar undang-undang.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000-1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang bertujuan melakukan pemisahan kekuasaan.
Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara harus diberlakukan. Meski pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi tinjauan ulang mereka atas relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk diperhatikan.

John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) dengan judul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.

Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak selalu di tangan satu orang. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
·         Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
·         Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
·         Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris, sebagai kekuasaan eksekutif.

Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.

Montesquieu (1689-1755)
Montesqueieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.
Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.”
·         Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris).
·         Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
·         Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut : Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Indonesia bukan hanya menganut Trias Polica, pemisahan dalam tiga lembaga bahkan lebih dari tiga merujuk kembali pada UUD 1945. Indonesia sudah menganut Penta Politica, bukan sekedar Eksekutif, Legislatif, Yudikatif tetapi juga Advosari (DPA), dan Auditor (BPK), namun setelah terjadi Amanden terhadap UUD 1945, sudah tidak lagi Penta Politica karena DPA sudah dihilangkan.

Selasa, 03 April 2012

Tugas Softskill ke-1

Tugas ke-1
1. Apa yang dimaksud dengan strategi pembangunan ekonomi yang meliputi:
·         Strategi Pembangunan
·         Strategi Pertumbuhan
·         Strategi Ketergantungan
·         Strategi yang Berwawasan Ruang
·         Strategi Pendekatan Kebutuhan Pokok

Ø  Strategi Pembangunan Ekonomi
Strategi pembangunan ekonomi diberi batasan sebagai suatu tindakan pemilihan atas faktor – faktor (variabel) yang akan dijadikan faktor / variabel utama yang menjadi penentu jalannya proses pertumbuhan (Surono, 1993). Babarapa strategi pembangunan ekonomi yang dapat disampaikan adalah :

Ø  Strategi Pertumbuhan
Di dalam pemikiran ini pertumbuhan ekonomi menjadi kriteria utama bagi pengukuran keberhasilan pembangunan. Selanjutnya dianggap bahwa dengan pertumbuhan ekonomi buah pembangunan akan dinikmati pula oleh si miskin melalui proses merambat ke bawah (trickle down effect) atau melalui tindakan koreksi pemerintah mendistribusikan hasil pembangunan. Bahkan tersirat pendapat bahwa ketimpangan atau ketidakmerataan adalah merupakan semacam prasyarat atau kondisi yang harus terjadi guna memungkinkan terciptanya pertumbuhan, yaitu melalui proses akumulasi modal oleh lapisan kaya. Strategi ini disebut strategi pertumbuhan.

Inti dari konsep strategi ini adalah :
Strategi pembangunan ekonomi suatu Negara akan terpusat pada upaya pembentukan modal, serta bagaimana menanamkannya secara seimbang, menyebar, terarah, dan memusatkan, sehingga dapat menimbulkan efek pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya bahwa pertumbuhan ekonomi akan dinikmati oleh golongan lemah melalui proses merambat ke bawah (trickle-down-effect), pendistribusian kembali.

Jika terjadi ketimpangan atau ketidakmerataan, hal tersebut merupakan persyaratan terciptanya pertumbuhan ekonomi.

Kritik paling keras dari strategi yang pertama ini adalah bahwa pada kenyataan yang terjadi adalah ketimpangan yang semakin tajam.



Ø  Strategi Pembangunan dengan Pemerataan
Keadaan sosial antara si kaya dan si miskin mendorong para ilmuwan untuk mencari alternatif. Alternatif baru yang muncul adalah strategi pembangunan pemerataan. Strategi ini dikemukakan oleh Ilma Aldeman dan Morris. Yang menonjol pada pertumbuhan pemerataan ini adalah ditekannya peningkatan pembangunan melalui teknik social engineering, seperti melalui penyusunan rencana induk, paket program terpadu. Dengan kata lain, pembangunan masih diselenggarakan atas dasar persepsi, instrumen yang ditentukan dari dan oleh mereka yang berada “diatas” (Ismid Hadad, 1980). Namun ternyata model pertumbuhan pemerataan ini juga belum mampu memecahkan masalah pokok yang dihadapi negara-negara sedang berkembang seperti pengangguran masal, kemiskinan struktural dan kepincangan sosial.

Ø  Strategi Ketergantungan
Teori ketergantungan muncul dari pertemuan ahli-ahli ekonomi Amerika Latin pada tahun 1965 di Mexico City. Menjelaskan dasar-dasar kemiskinan yang diderita oleh negara-negara sedang berkembang, khususnya negara-negra Amerika Latin. Yang menarik dari teori ketergantungan adalah munculnya istilah dualisme utara-selatan, desa-kota, corepriphery yang pada dirinya mencerminkan adanya pemikiran pembangunan yang berwawasan ruang.

Pada tahun 1965 muncul strategi pembangunan dengan nama strategi ketergantungan. Konsep ini timbul dikarenakan tidak sempurnanya strategi pertumbuhan dan strategi pembangunan dengan pemerataan.

Inti dari konsep strategi ketergantungan adalah :
Kemiskinan di negara–negara berkembang lebih disebabkan karena adanya ketergantungan negara tersebut dari pihak/negara lainnya. Oleh karena itu jika suatu negara ingin terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi, negara tersebut harus mengarahkan upaya pembangunan ekonominya pada usaha melepaskan diri dari ketergantungandari pihak lain. Langkah yang dapat ditempuh diantaranya adalah meningkatkan produksi nasional yang disertai dengan peningkatan kemampuan dalam bidang produksi, lebih mencintai produk nasional.
Teori ketergantungan ini kemudian dikritik oleh Kothari dengan mengatakan “. . . . .teori ketergantungan tersebut memang cukup relevan, namun sayangnya telah menjadi semacam dalih terhadap kenyataan dari kurangnya usaha untuk membangun masyarakat sendiri (selfdevelopment). Sebab selalu akan gampang sekali bagi kita untuk menumpahkan semua kesalahan pada pihak luar yang memeras, sementara pemerasan yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat kita sendiri dibiarkan saja . . . . . “ ( Kothari dalam Ismid Hadad, 1980 ).

Ø  Strategi yang Berwawasan Ruang
Pada argumentasi Myrdall dan Hirschman terdapat dua istilah yaitu “back-wash effects” dan “spread effects” .
“Back-wash Effects” adalah kurang maju dan kurang mampunya daerah-daerah miskin untuk membangun dengan cepat disebutkan pula oleh terdapatnya beberapa keadaan yang disebut Myrdall.
“spread effects” (pengaruh menyebar), tetapi pada umumnya spread-effects yang terjadi adalh jauh lebiih lemah dari back-wash effectsnya sehingga secara keseluruhan pembangunan daerah yang lebih kaya akan memperlambat jalnnya pembangunan di daerah miskin.
Perbedaan pandangan kedua tokoh tersebut adalah bahwa Myrdall tidak percaya bahwa keseimbangan daerah kaya dan miskin akan tercapai, sedangkan Hirschman percaya, sekalipun baru akan tercapai dalam jangka panjang.

Ø  Strategi Pendekatan Kebutuhan Pokok
Sasaran strategi ini adalah menaggulangi kemiskinan secara masal. Strategi ini selanjutnya dikembangkan oleh Organisasi Perburuhan Sedunia (ILO) pada tahun 1975, dengan dikeluarkannya dokumen: Employment, Growth, and Basic Needs : A One World Problem. ILO dengan menekankan bahwa kebutuhan pokok manusia tidak mungkin dapat dipengaruhi jika pendapatan masih rendah akibat kemiskinan yang bersumber pada pengangguran. Oleh karena itu sebaiknya usaha-usaha diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan pemenuhan kebutuhan pokok dan sejenisnya.

Minggu, 01 April 2012

Perekonomian Indonesia

Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
SEBELUM KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1. a.Hak mencetak uang
2. b.Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. c.Hak menyatakan perang dan damai
4. d.Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. e.Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
a.Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
b.Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c.Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d.Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.


Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain :
a.Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi permintaan).
b.Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil produksi.
c.The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
a.Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
b.Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pendudukan Jepang (1942-1945)ÿ
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
ORDE LAMA
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir.Ø Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakanØ kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperolehØ kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947Ø
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948Ø >>mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan denganØ beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.


ORDE BARU
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.

Sumber:
-Buku Perekonomian Indonesia
-Buku Sejarah Perekonomian Indonesia

Perkembangan di Sektor Pertanian dan Sektor Industri

PENDAHULUAN
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 meng­amanatkan bahwa pembangunan sektor industri harus mampu mem­-bawa perubahan-perubahan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia sehingga produksi nasional yang berasal dari sek­tor-sektor di luar pertanian menjadi bagian yang semakin   besar. Selanjutnya digariskan pula bahwa pembangunan industri sekaligus harus dapat mendorong terwujudnya struktur ekonomi yang semakin seimbang dengan sektor industri yang maju dan didukung oleh sektor pertanian yang tangguh.

Didasarkan pada arah dan kebijaksanaan tersebut, maka pembangunan sektor industri dalam Repelita V diarahkan pada peningkatan pengembangan sektor industri sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja baru, sumber peningkatan ekspor dan penghematan devisa, penunjang pembangunan daerah, penunjang pembangunan sektor-sektor lain­-nya serta sekaligus sebagai wahana pengembangan dan penguasa­an teknologi. Hal ini berarti bahwa pembangunan industri dalam Repelita V harus dapat mendorong industri menjadi lebih efisien dan peranannya dalam perekonomian nasional semakin meningkat baik dari segi nilai tambah maupun lapangan kerja. Untuk itu kebijaksanaan pembangunan industri yang ditempuh adalah dengan mengupayakan secara terus-menerus promosi industri-industri yang dapat tumbuh dan berkembang secara efisien dan kompetitif dengan hasil produk yang semakin bermutu dengan memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya manusia, sumber daya alam dan energi, sumber dana dan teknologi serta dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Pengembang­annya diutamakan pada industri-industri yang memiliki daya saing yang kuat.

Berdasarkan arah dan kebijaksanaan pembangunan sektor industri tersebut, langkah-langkah prioritas pengembangan sektor industri yang dilaksanakan dan dimantapkan dalam Repe­lita V meliputi:

1. pengembangan industri yang berorientasi ekspor;                     
2. Penguat dan pendalaman struktur industri;             
3. Pengembngan industri kecil;
4. Pengembangan industri pengolahan hasil pertanian;
5. Peningkatan penguasaan teknologi dan kemampuan inovasi;                       
6. Pengembangan tenaga profesi dan wirausaha industri.

Langkah-langkah prioritas tersebut pada hakekatnya tidaklah merupakan langkah yang terpisah satu dengan lainnya. Keterkaitan antara langkah yang satu dan lainnya sangat di­perlukan untuk memantapkan pelaksanaan kebijaksanaan indus­trialisasi dan memacu peningkatan kegiatan dunia usaha sebagai pelaku utama pengembangan sektor industri.

Sektor Pertanian



Di Indonesia, terdapat 4 jenis pertumbuhan dan perkembangan di sector pertanian, yaitu:
Penyediaan makanan utk pddk, penyediaan BB untuk industri manufakturèa.Kontribusi Produk
spt industri: tekstil, barang dari kulit, makanan & minuman. Pertanian sebagai sumber penting bagi pedangan melalui export sumber dari pertanian untuk cadangan devisa Negara. Sebagian besar dari kontribusi pertanian bisa lewat sector perdaganan dan non pertanian, Dari sisi pasar, Indonesia menunjukkan pasar domestic didominasi oleh produk pertanian dari LN seperti buah, beras & sayuran hingga daging, lalu Dari sisi keterkaitan produksi, Industri kelapa sawit & rotan mengalami kesulitan bahan baku di dalam negeri, karena BB dijual ke LN dengan harga yg lebih mahal.
            Negara Indonesia merupakan salah satu Negara agraris bagi sumber pertambahan untuk pasar domestic untuk produk pasar non pertanian. Membuat pasar sector non pertanian tidak hanya disi dengan produk domestic, tapi juga impor sbg pesaing, shg konsumsi yg tinggi dari petani tdk menjamin pertumbuhan yg tinggi sector non pertanian. Pengaruh keterbukaan ekonomi, selain itu Tenaga Kerja dan Modal F.P dapat di salurkan ke sector lainya tanpa mengurangi hasil peroduksi tersebut.

            Di Indonesia hasi Investasi Pertanian & Non Pertanian harus ditingkatkan agar ketergantungan pinjaman dengan Negara lain dapat di kurangi. Sebelum Krisis Moneter, penghasilan dari sektor pertanian lebih rendah dari pada sektor non pertanian, hal tersebut di karenakan musim kemarau yang panjang, lahan pertanian semakin kecil dikarenakan banyakanya pembangunan, dan rendahnya SDM dalam sektor pertanian.

Menurut Kuznets, Sektor pertanian di LDC’s mengkontribusikan thd pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam 4 bentuk:
  • Kontribusi Produkè Penyediaan makanan utk pddk, penyediaan BB untuk industri manufaktur seperti industri: tekstil, barang dari kulit, makanan & minuman
  • Kontribusi Pasarè Pembentukan pasar domestik utk barang industri & konsumsi
  • Kontribusi Faktor ProduksièPenurunan peranan pertanian di pembangunan ekonomi, maka
  • terjadi transfer surplus modal & TK dari sector pertanian ke Sektor lain
  • d.Kontribusi Devisaè Pertanian sbg sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (NPI) melalui ekpspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk impor.

Kontribusi Produk.
Dalam system ekonomi terbuka, besar kontribusi produk sector pertanian bisa lewat pasar dan lewat produksi dg sector non pertanian.
Dari sisi pasar, Indonesia menunjukkan pasar domestic didominasi oleh produk pertanian dari LN seperti buah, beras & sayuran hingga daging.
Dari sisi keterkaitan produksi, Industri kelapa sawit & rotan mengalami kesulitan bahan baku di dalam negeri, karena BB dijual ke LN dengan harga yg lebih mahal.
Kontribusi Pasar.
Negara agraris merup sumber bagi pertumbuhan pasar domestic untuk produk non pertanian spt
pengeluaran petani untuk produk industri (pupuk, pestisida, dll) & produk konsumsi (pakaian,
mebel, dll)





Keberhasilan kontribusi pasar dari sector pertanian ke sector non pertanian tergantung:
Pengaruh keterbukaan ekonomiè Membuat pasar sector non pertanian tidak hanya disi dengan produk domestic, tapi juga impor sbg pesaing, shg konsumsi yg tinggi dari petani tdk menjamin pertumbuhan yg tinggi sector non pertanian.
Jenis teknologi sector pertanianè Semakin moderen, maka semakin tinggi demand produk industri non pertanian

Kontribusi Faktor Produksi.
F.P yang dapat dialihkan dari sector pertanian ke sektor lain tanpa mengurangi volume produksi pertanianè Tenaga kerja dan Modal

Di Indonesia hubungan investasi pertanian & non pertanian harus ditingkatkan agar
ketergantungan Indonesia pada pinjaman LN menurun. Kondisi yang harus dipenuhi untuk
merealisasi hal tsb:

Harus ada surplus produk pertanian agar dapat dijual ke luar sectornya.
Market surplus ini harus tetap dijaga & hal ini juga tergantung kepada factor penawaran è Teknologi, infrastruktur & SDM dan factor permintaan è nilai tukar produk pertanian & non pertanian baik di pasar  domestic & LN Petani harus net saversè Pengeluaran konsumsi oleh petani < produksi
Tabungan petani > investasi sektor pertanian

Kontribusi Devisa.
Kontribusinya melalui :
  • Secara langsungè ekspor produk pertanian & mengurangi impor.
  • Secara tidak langsungè peningkatan ekspor & pengurangan impor produk
berbasis pertanian spt tekstil, makanan & minuman, dll
  • Kontradiksi kontribusi produk & kontribusi deviasè peningkatan ekspor produk pertanian
  • menyebabkan suplai dalam negari kurang dan disuplai dari produk impor.
Peningkatan ekspor produk pertanian berakibat negative thd pasokan pasar dalam negeri. Untuk menghindari trade off ini 2 hal yg harus dilakukan:
  • Peningkatan kapasitas produksi.
  • Peningkatan daya saing produk produk pertanian

            Selama periode 1990-an pangsa PDB dari pertanian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) mengalami penurunan dari sekitar 17,9% tahun 1993 menjadi 16,4% tahun 2001, sedangkan pangsa PDB dari pasar manufaktur selama kurun waktu yang sama meningkat dari 22.3% menjadi 26.0%. penurunan kontribusi outputdari pertanian terhadap pembentukan PDB ini bukan berarti bahwa volume produksi di sector tersebut berkurang (pertumbuhan negatif)  selama periode tersebut. Tetapi, laju pertumbuhan outputnya lebih lambat dibandingkan dengan laju outpit di bidang lainya.
            Laju pertumbuhan output pertanian pada perkembangan PDB, 1995-2002 relatif kecil dibandingkan dengan pertumbuhan output di sector lainya. Tahun 1995, output pertanian hanya tumbuh 4,4% dibandingkan 10,9% di industry manufactur
Rendahnya pertumbuhan output pertanian disebabkan:
  • Iklimè kemarau jangka panjang berakibat volume dan daya saing turun
  • Lahanè lahan garapan petani semakin kecil
  • Kualitas SDMè rendah
Penggunaan Teknologièrendah


Perkembangan Sektor Industri


Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 tumbuh sebesar 6.1 persen, dimana sektor industri pengolahan non migas tahun 2010 tumbuh sebesar 5,1 persen, melampaui target semula yaitu 4,65 persen. Pertumbuhan sektor industri pengolahan non migas pada akhir 2010 tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan periode yang sama tahun 2009. Hal ini menggambarkan sektor industri telah menjadi sumber pertumbuhan yang cukup tinggi pada pertumbuhan PDB terutama kondisi yang terjadi triwulan IV tahun 2010. Industri yang mengalami kenaikan tertinggi adalah kelompok industri alat angkut, mesin dan peralatannya sebesar 8,47 persen dan industri pupuk, kimia dan barang dari karet tumbuh sebesar 4,82 persen, dan industri barang lainnya sebesar 3,83 persen. Cabang industri yang menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan industri nasional adalah industri makanan, minuman dan tembakau (34,35 persen), industri alat angkut, mesin dan peralatan (28,13 persen), industri pupuk, kimia dan barang dari karet (12,44 persen) dan tekstil, barang kulit dan alas kaki (8,81 persen), serta barang kayu dan hasil hutan (5,75 persen).

Sementara Kinerja ekspor komoditi industri manufaktur hingga Tahun 2010 Indonesia-Taiwan mengalami lonjakan yang cukup besar sekitar 40% jika di dibandingkan tahun 2009. Tabel dibawah ini detail ekspor hasil industri pengolahan non migas tahun 2009 dan 2010:
Berat : Kg
EKSPOR INDONESIA KE TAIWAN
Nilai : US$
NO
URAIAN
2009
2010
BERAT
NILAI
BERAT
NILAI
1
Pengolahan Kayu
184,220,278
118,848,684
285,937,440
155,354,802
2
T e k s t i l
35,353,150
90,567,269
39,473,255
114,243,747
3
Pengolahan Karet
28,135,635
54,938,860
36,948,191
121,195,564
4
Besi, Baja, Mesin-mesin dan Otomotif
17,596,708
93,941,336
33,711,682
139,209,725
5
Pengolahan Aluminium
2,341,618
8,128,406
2,786,257
9,409,559
6
Peng. Emas, Perak, Logam Mulia, Perhiasan dll.
834
5,530
3,957
106,452
7
Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit
33,376,372
23,777,097
38,524,842
36,276,843
8
Pengolahan Tembaga, Timah dll.
22,217,069
129,337,846
26,932,605
220,763,552
9
Makanan dan Minuman
35,572,305
43,933,818
39,051,769
52,314,141
10
Pulp dan Kertas
200,787,604
99,322,717
230,397,248
158,052,241
11
P u p u k
257,314,367
63,207,895
166,147,885
55,958,301
12
Pengolahan Rotan Olahan
604,763
988,871
563,451
981,471
13
Semen dan Produk dari Semen
19,176,105
1,650,069
25,401,021
2,393,327
14
Makanan Ternak
2,175,069
595,734
5,058,012
817,446
15
Keramik, Marmer dan Kaca
57,387,209
18,438,540
98,602,912
27,212,698
16
Kimia Dasar
149,952,549
95,621,809
146,213,520
107,329,252
17
Barang-barang Kimia lainnya
19,706,170
16,670,546
23,173,899
26,706,404
18
Kulit, Barang Kulit dan Sepatu/Alas Kaki
1,445,132
14,366,172
1,478,116
16,205,448
19
Plastik
11,188,200
26,194,462
13,385,600
34,098,518
20
Kamera dan Alat-alat Optis
2,647
129,710
9,710
590,972
21
Rokok
18,087
129,498
10,589
86,053
22
Pengolahan Tetes
49,168,156
10,928,011
61,892,237
17,990,112
23
Alat-alat Listrik
2,652,904
12,244,295
3,409,181
16,365,900
24
Minyak Atsiri
35,606
319,427
49,534
265,569
25
Alat Olah Raga, Musik, Pendidikan dan Mainan
296,344
1,638,816
446,120
2,447,730
26
Pengolahan Hasil Hutan Ikutan
1,856,140
759,373
1,215,600
740,844
27
Kosmetika
4,776,978
6,275,322
4,626,128
6,276,581
28
Barang-barang Kerajinan lainnya
1,271,827
1,106,273
834,885
881,501
29
Produk Farmasi
60,344
1,033,958
111,865
1,519,502
30
Komoditi lainnya
942,145
2,490,182
1,571,517
3,443,436
31
Elektronika
1,764,084
59,422,474
2,218,176
91,858,359
T O T A L
997,013,000
1,421,096,050

Industri pengolahan nonmigas, yang meliputi kelompok industri dasar, kelompok industri hilir (aneka industri) dan kelompok industri kecil, dalam tahun kedua Repelita V tetap menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi meskipun menghadapi gejolak perekonomian dunia yang kurang menentu. Dalam tahun 1990 nilai tambah industri pengolahan (termasuk pengolahan migas), dihitung atas dasar harga-harga konstan tahun 1983, mengalami kenaikan sebesar 12,3% bila dibandingkan dengan nilai tambah tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan sektor indus­tri tahun 1990 ini lebih tinggi daripada yang tercapai pada tahun 1989 sebesar 9,1%. Dengan kenaikan nilai tambah cukup tinggi tersebut sumbangan sektor industri dalam Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 1990 telah mencapai sekitar 19,5%. Sementara itu industri pengolahan nonmigas dalam tahun 1990 mencapai pertumbuhan sebesar 13%, dan sumbangannya dalam PDB pada tahun 1990 menjadi 15,3%. Ini berarti bahwa sektor industri telah mulai mampu berperan sebagai penggerak utama pembangunan, dan secara bertahap memberikan sumbangan terhadap upaya transformasi struktural ekonomi nasional sesuai dengan arah dan tujuan pembangunan.
Perkembangan sektor industri ini didukung terutama oleh semakin berkembangnya industri-industri yang berorientasi ekspor, semakin mantapnya upaya penguatan dan pendalaman struktur industri, serta berkembangnya industri pengolahan hasil pertanian (termasuk hasil hutan). Sementara itu industri kecil juga tetap menunjukkan peningkatan yang berarti. Selanjutnya keberhasilan ini dapat dicapai antara lain berkat meningkatnya daya saing industri pada umumnya yang didukung oleh penyempurnaan iklim usaha secara terus menerus, di sam­ping juga oleh meningkatnya kemampuan penguasaan teknologi dan kemampuan sumber daya manusianya.
Perkembangan industri berorientasi ekspor telah semakin menampakkan hasil yang meningkat baik dalam jenis, volume dan nilai barang yang diekspor maupun dalam peranannya sebagai pemacu pertumbuhan sektor industri dan sektor lainnya. Produk industri yang berhasil memasuki pasaran ekspor pada tahun 1990 berjumlah sekitar 3.330 komoditi yang dihasilkan oleh 441 jenis industri. Nilai ekspor hasil industri tahun 1990 mencapai sebesar US$ 12,1 miliar, yang berarti menunjukkan kenaikan sebesar 8,31 bila dibandingkan dengan nilai ekspor pada tahun sebelumnya. Dari nilai ekspor tersebut, kelompok aneka industri merupakan penyumbang terbesar, yaitu sekitar 70,2%. Dalam kelompok aneka industri ini, industri tekstil dan industri pengolahan kayu masih tetap dominan, dengan mem­berikan sumbangan sekitar 50,5% dalam ekspor hasil industri secara keseluruhan. Industri-industri yang terus berkembang adalah industri-industri yang berdaya saing kuat, terutama dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang tersedia. Untuk jenis-jenis industri yang tak berbasis sumber daya alam, ke­mampuan teknologi pengolahan atau teknologi produknya terus
meningkat sehingga diperoleh desain dan mutu yang semakin bertambah baik serta produksi yang semakin efisien.
Pendalaman struktur industri dalam tahun kedua Repe­lita V tetap diarahkan untuk memantapkan serta meningkatkan hasil-hasil yang telah dicapai. Sasaran utama pengembangannya aaalah industri-industri yang menghasilkan bahan baku dan bahan penolong serta barangg modal dalam rangka mendukung industri-industri yang mempunyai daya saing kuat. Meskipun  pada awalnya industri-industri tersebut berkembang sebagai industri substitusi impor, namun dalam perkembangannya produk yang dihasilkan semakin mampu bersaing dengan barang impor dan bahkan beberapa di antaranya mampu menembus pasaran  dunia. Beberapa produk baru yang telah dihasilkan dalam tahun 1990 antara lain carbon black yang digunakan sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan ban, benzene sebagai bahan baku untuk benang nylon, paraxylene sebagai bahan baku untuk Pure Terephthalic Acid (PTA) yang kemudian diolah untuk menghasilkan serat polyester, dan Sodium Tripoly Phosphat (STPP) sebagai salah satu bahan baku untuk industri deterjen.
Sementara itu prospek pertumbuhan sektor industri juga semakin cerah. Hal ini ditandai dengan adanya rencana investasi dalam rangka IMN dan PMA yang telah mendapatkan perse­tujuan, yang, pada tahun 1990/91 masing-masing berjumlah Rp 45.042 miliar dan Rp 6.846,3 miliar. Bila dibandingkan dengan tahun 1989/90 di mana tercatat rencana investasi dalam rangka R DN sebesar,Rp 21.549,7 miliar dan untuk PMA sebesar Rp 4.565,5 miliar, maka perkembangan pada tahun 1990/91 ter­sebut menunjukkan peningkatan minat investasi di sektor industri   yang masing-masing naik sebesar 109% dan 49,9%. Ren­cana investasi tersebut meliputi pembangunan pabrik-pabrik baru dan perluasan pabrik. Meskipun rencana lokasi industri masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, namun telah nampak adanya kecenderungan investasi yang meningkat di luar Pulau Jawa. Sejalan dengan peningkatan investasi, tenaga kerja yang dapat diserap oleh sektor industri juga meningkat. Bila pada tahun 1989 tambahan tenaga kerja yang terserap oleh sektor industri adalah sebanyak 542,7 ribu orang, maka pada tahun 1990 tam­-bahan tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 632,2 ribu orang.
 Pengembangan industri kecil yang meliputi industri kecil tradisional/kerajinan dan industri kecil nontradisional tetap ditingkatkan, terutama melalui program keterkaitan usaha dan subkontrak. Pelaksanaannya ditempuh dengan cara memperluas
penerapan pola Bapak Angkat antara Badan Usaha Milik Negara atau pengusaha industri besar dengan pengusaha industri kecil. Di samping itu, untuk meningkatkan kemampuan para pengrajin/pengusaha industri kecil yang tersebar di seluruh daerah, kegiatan pelatihan dan bimbingan teknis juga terus ditingkatkan dalam tahun kedua Repelita V melalui pembinaan sentra industri.
Dalam rangka memacu pertumbuhan sektor industri, upaya meningkatkan penguasaan teknologi industri terus dilanjutkan antara lain melalui kegiatan penelitian dan pengembangan te­rapan. Kegiatan penelitian dan pengembangan ini dilakukan antara lain oleh Balai Besar Industri Kimia, Balai Besar Industri Mesin dan Logam, Balai Besar Industri Hasil Pertani­an dan Balai Besar lainnya, meliputi peningkatan penguasaan teknologi pengolahan, rancang bangun dan perekayasaan serta kemampuan pengujian bahan dan produk. Meskipun sarana pene­litian dan pengembangan yang dimiliki masih terbatas, namun hasilnya secara bertahap telah mampu memberikan dampak yang positip terhadap pemanfaatan sumber daya yang dimiliki, pe­ningkatan kandungan lokal serta peningkatan daya saing produk hasil industri. Untuk meningkatkan peranan swasta dalam bi­dang penelitian dan pengembangan serta dalam pengembangan sumber daya manusia, pada tahun 1990 Pemerintah telah menge­luarkan kebijaksanaan tentang Perlakuan Perpajakan atas Biaya Penelitian dan Pengembangan dan kebijaksanaan tentang Perla­-kuan Pajak Penghasilan atas Biaya Latihan Karyawan, Pemagang­an dan Beasiswa. Dalam hubungan ini seluruh biaya yang dike­luarkan untuk kegiatan tersebut dapat diperhitungkan dalam pengebangan jumlah pajak yang harus dibayar.
Standardisasi produk industri yang meliputi penyusunan dan penerapan standar industri juga semakin ditingkatkan. Bila pada tahun 1989/90 telah berhasil dilakukan penyusunan sebanyak 145 standar industri yang di antaranya termasuk 65 standar produk enjinering, maka pada tahun 1990/91 telah di­susun sebanyak 230 standar industri yang di antaranya terbanyak 200 standar produk enjinering. Meskipun jumlah standar industri yang telah ada semakin meningkat namun per­kembangan standarisasi industri saat ini masih jauh terting­gal dari kebutuhannya apalagi bila dibandingkan dengan per­kembangan di negara-negara maju. Pada hakekatnya standardisa­si yang maju akan membentuk basis yang kokoh bagi penguasaan teknologi serta memberikan dampak positif terhadap upaya peningkatan efisiensi, produktivitas dan mutu produk indus. Selanjutnya pengembangan standardisasi ini dapat memper­-luas penggunaan bahan baku dan komponen dari berbagai sumber (global sourcing) serta sekaligus mendorong tumbuhnya industri yang dapat berperan sebagai subkontrak bagi industri lainnya. Kesemuanya itu akan mampu meningkatkan daya saing produk industri.
Demikian pula dalam bidang kelembagaan tetap dilanjutkan kegiatan penyusunan peraturan pelaksanaan sebagai penjabaran dari Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Beberapa peraturan dewasa ini sedang dalam tahap pengusulan dan pembahasan, antara lain mengenai Standar Nasional Indus­tri, industri kecil, informasi industri dan alih teknologi
Industri Mesin, Logam Dasar dan Elektronika
Kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika memiliki ciri sebagai kelompok industri penghasil barang modal yang. umumnya menggunakan teknologi tinggi serta mempu­nyai keterkaitan yang luas baik antar industri maupun dengan sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu perkembangan kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, penguatan dan pendalaman struktur industri serta peningkatan kemampuan teknologi in­dustri khususnya dalam rancang bangun dan rekayasa industri.

Prioritas pengembangan kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika dalam Repelita V adalah:
  • Pengembangan industri permesinan, terutama industry mesin dan peralatan pabrik, industri alat-alat berat/ konstruksi, industri mesin dan peralatan tenaga listrik dan industri komponen mesin;
  • Pengembangan industri elektronika, terutama industri  alat komunikasi yang menunjang pembangunan jaringan ko­munikasi nasional, industri alat pengolah data, instru­mentasi dan kontrol, baik perangkat keras maupun perang­kat lunak serta industri elektronika konsumsi;
  • Pengembangan industri alat angkut untuk menunjang sektor  perhubungan;
  • Pengembangan industri logam dasar untuk menunjang industri enjinering

Dengan kebijaksanaan dan langkah-langkah pengembangan yang ditempuh, maka produksi kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika dalam tahun kedua Repelita V secara keseluruhan tetap menunjukkan perkembangan yang meningkat. Perkembangan produksi beberapa jenis industri yang termasuk dalam kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1990/91 tampak seperti dalam Tabel VIII-Cabang industri perakitan dan komponen kendaraan bermotor dan cabang industri logam dasar sampai saat ini masih memegang peranan yang menonjol, yaitu sebesar 86% dari nilai produksi kelompok industri tersebut.
Penurunan nilai ekspor hasil kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika dalam tahun kedua Repe­lita V terjadi sebagai akibat berkembangnya pasar dalam negeri, antara lain untuk produk seperti baja lembaran canai panas (HRC), batang kawat baja, batang kawat tembaga dan besi beton. Pada tahun 1990 nilai ekspor kelompok industri ini berjumlah US$ 818,9 juta, sedangkan pada tahun 1989 nilai ekspornya mencapai US$ 988,4 juta atau terjadi penurunan sekitar 17,1%. Meskipun demikian beberapa jenis industri menun­jukkan kenaikan nilai ekspornya, antara lain mesin dan per­alatan pabrik, boiler dan komponennya, mesin industri teks­til, alat ukur, televisi dan radio/radio kaset beserta kom­ponennya.

Perkembangan selama tahun kedua Repelita V dalam kelompok industri ini juga ditandai oleh meningkatnya realisasi investasi, yaitu meningkat sekitar 15,8% dari realisasi yang berjumlah Rp 2.643,1 miliar pada tahun 1989 menjadi Rp 3.061,8 miliar pada tahun 1990. Kenaikan yang terbesar terutama bersumber dari investasi di cabang industri logam dasar, cabang industri elektronika dan cabang. industri mesin listrik. Sejalan dengan itu, penyerapan tenaga kerja juga menunjukkan kenaikan yang cukup berarti. Bila pada tahun 1989 tenaga kerja tambahan yang dapat diserap berjumlah 14,3 ribu orang, maka pada tahun 1990 tenaga kerja tambahan yang dapat diserap adalah sebanyak 24,7 ribu orang.
Produksi cabang industri mesin perkakas dalam tahun kedua Repelita V umumnya mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan produksi tahun pertama Repelita V, kecuali produksi mesin gerinda meja. Produksi mesin tekuk menunjukkan kenaikan yang tertinggi, yaitu sekitar 360%, sedangkan volume produksi mesin perkakas lainnya mengalami kenaikan antara 6,7-63,6%. Namun demikian produksi mesin gergaji dan mesin potong pada tahun 1990/91 masih berada di bawah tingkat produksi tahun 1988/89. Masalah pokok yang masih dihadapi oleh cabang indus­-tri mesin perkakas sampai saat ini adalah lemahnya daya saing serta belum berkembangnya perekayasaannya.
Perkembangan produksi cabang industri mesin dan peralat­an pertanian sampai dengan tahun 1990/91 secara keseluruhan menunjukkan kenaikan, kecuali produksi traktor mini dan pompa irigasi yang pada tahun 1990/91 berada di bawah tingkat pro­duksi pada tahun 1988/89. Peningkatan produksi tertinggi pada tahun 1990/91 dicapai dalam produksi traktor besar, yaitu se­kitar 292%, dan kemudian disusul oleh polisher yang menunjuk­-kan kenaikan produksi sekitar 84%. Perkemhangan produksi trak­tor besar tahun 1990/91 tersebut cukup menggembirakan meng­-ingat pada tahun 1989/90 terjadi penurunan produksi yang sangat tajam. Pada umumnya penguasaan rekayasa dan kemampuan pemabrikan jenis-jenis industri dalam cabang industri mesin     dan peralatan pertanian sudah cukup baik. Namun demikian dalam rangka menunjang pertumbuhan sektor pertanian dalam Re­pelita V, upaya mendorong kemampuan membuat mesin dan per­-alatan yang sesuai dengan kebutuhan petani tetap dilanjutkan, terutama mesin-mesin dengan desain sederhana dengan harga yang murah. Di samping itu tetap dilanjutkan penyusunan stan­dardisasi dan penerapan secara wajib khususnya yang mencakup standar uji mengenai unjuk kerja traktor tangan, alat peng- gilingan padi (rice milling), penyosoh beras (polisher) dan lain-lainnya.
Cabang industri alat-alat berat dan konstruksi mencakup jenis-jenis industri konstruksi baja, industri alat konstruk­si nonswagerak (statis), industri alat besar swagerak (dina­mis), dan industri komponen dan suku cadang. Dalam masa Repe­lita V prioritas pengembangan cabang industri ini diarahkan pada industri yang membuat produk-produk antara, komponen dan suku cadang untuk memperkuat struktur industrinya. Sampai dengan tahun kedua Repelita V kemampuan pemabrikan dan pe­nguasaan perekayasaan cabang industri ini terus berkembang sehingga secara bertahap hasil produksinya mulai dapat meme­-nuhi kebutuhan dalam negeri. Kecuali excavator, volume pro­-duksi cabang industri alat-alat berat dan konstruksi pada    tahun 1990/91 menunjukkan kenaikan bila dibandingkan dengan volume produksi tahun 1989/90. Produksi mesin pemecah batu, mesin penyemprot aspal dan forklift pada tahun 1990/91 menun­jukkan kenaikan produksi yang sangat menonjol, yaitu masing­masing naik sebesar 139%, 180% dan 193,6% dibandingkan dengan produksi tahun 1989/90. Beberapa industri lain juga mengalami kenaikan produksi yang cukup tinggi, yaitu produksi mesin pencampur aspal, road/vibro roller dan buldozer yang masing­masing meningkat sebesar 66,7%, 50% dan 43,2%.
Kesimpulan
Pada dasarnya, pertumbuhan Sektor Pertanian lebih rendah dari pada Sektor Industri.
Hal tersebut dikarenakan lahan pertanian yang berkurang atau dikarenakan terjadinya bencana alam yang mengakibatkan sebagian dari lahan lahan pertanian gagal panen ataupun hancur.
Selain itu, di lihat dari sisi Produksi, Industri pertanian mengalami kesulitan bahan baku dikarenakan Bahan baku yang di jual lebih mahal ke luar, Krisis Moneter yang menyebabkan Indonesia harus meminjam dana lebih dari luar dan juga rendahnya SDM dalam sektor pertanian.

Sedangkan untuk sector perindustrian mengalami peningkatan yang besar dari tahun tahun sebelumnya dikarenakan kemajuan teknologi yang pesat yang memudahkan dalam menjalankan aktifitas aktifitas di berbagai bidang industry, mulai dari bagian produksi sampai dengan bagian pemasaran. Selain itu, dalam bidang Industri juga menghasilkan berbagai macam industry industry lainya, seperti Tekstil, Logam, Mesin, Elektronik dll.

 Berikut adalah Prioritas pengembangan kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika dalam Repelita V adalah:
  • Pengembangan industri permesinan, terutama industry mesin dan peralatan pabrik, industri alat-alat berat/ konstruksi, industri mesin dan peralatan tenaga listrik dan industri komponen mesin;
  • Pengembangan industri elektronika, terutama industri  alat komunikasi yang menunjang pembangunan jaringan ko­munikasi nasional, industri alat pengolah data, instru­mentasi dan kontrol, baik perangkat keras maupun perang­kat lunak serta industri elektronika konsumsi;
  • Pengembangan industri alat angkut untuk menunjang sektor  perhubungan;
  • Pengembangan industri logam dasar untuk menunjang industri enjinering
Dengan kebijaksanaan dan langkah-langkah pengembangan yang ditempuh, maka produksi kelompok industri mesin, logam dasar dan elektronika dalam tahun kedua Repelita V
secara keseluruhan tetap menunjukkan perkembangan yang meningkat.






Daftar Pustaka
kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/.../6-PERKEMBANGAN+SEKTOR+PERTANIAN.doc
Buku Perekonomian Indonesia