John Locke, Tokoh Trias Politika)
Trias Politika merupakan konsep
pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia.
Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada
satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga
negara yang berbeda.
Trias Politika yang kini banyak
diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat
undang-undang, Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang dan
Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara
keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta
menjatuhkan sanksi bagi lembaga dan individu yang melanggar undang-undang.
Pada abad Pertengahan (kira-kira
tahun 1000-1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki
(raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu
dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik
ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai
muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang
filsafat politik yang bertujuan melakukan pemisahan kekuasaan.
Tokoh-tokoh seperti John Locke,
Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa
yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara harus
diberlakukan. Meski pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi tinjauan
ulang mereka atas relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk diperhatikan.
John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias
Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) dengan judul Two Treatises of
Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut
bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat
sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik
harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap
orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.
Negara ada dengan tujuan utama
melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara
versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah,
kekuasaan yang tidak selalu di tangan satu orang. Menurut Locke, kekuasaan yang
harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
· Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat
undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa
masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’
tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke,
masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum
bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang
dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan
untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
· Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat
undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu
Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka
buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
· Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan
negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan
Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun
liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai,
pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan
kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris, sebagai kekuasaan eksekutif.
Dari pemikiran politik John Locke
dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di
tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini
belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini.
Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu (1689-1755)
Montesqueieu (nama aslinya Baron
Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya
John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the
Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan
kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada
tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai
hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif
yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.
Dengan kekuasaan pertama, penguasa
atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan
kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan
keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga,
ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang
akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif
negara.”
· Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat
undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of
Common (Inggris).
· Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang
yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis
besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in
chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
· Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang
maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif
yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut : Criminal law
(petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian,
warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran
kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara);
International law (perjanjian internasional).
Indonesia bukan hanya menganut Trias
Polica, pemisahan dalam tiga lembaga bahkan lebih dari tiga merujuk kembali
pada UUD 1945. Indonesia sudah menganut Penta Politica, bukan sekedar
Eksekutif, Legislatif, Yudikatif tetapi juga Advosari (DPA), dan Auditor (BPK),
namun setelah terjadi Amanden terhadap UUD 1945, sudah tidak lagi Penta Politica
karena DPA sudah dihilangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar